JAKARTA, (PR).- Perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia, juga dapat menghambat capaian indeks pembangunan manusia.
Hal itu ditegaskan Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Lenny N Rosalin dalam acara seminar nasional "Menindaklanjuti Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Merevisi Undang-Undang Perkawinan", di Jakarta Rabu 6 Maret 2019.
"Perkawinan anak tidak hanya berpengaruh pada capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG's tetapi juga berpengaruh untuk mewujudkan sasaran Indonesia Layak Anak 2030," kata Lenny sebagaimana siaran pers yang diterima Kantor Berita Antara, di Jakarta, Kamis 7 Maret 2019.
Lenny mengatakan perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun, menyebabkan gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahim masih rentan, serta memunculkan pekerja anak dan upah rendah.
Itu berarti perkawinan anak sangat besar berpeluang melanggar hak-hak anak, yaitu hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan, serta ikut menyumbang angka kematian ibu.
"Negara perlu hadir dalam merumuskan langkah-langkah konkret untuk menjamin pemenuhan hak anak untuk menghapus praktik perkawinan anak," tuturnya.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan prevalensi perkawinan anak menunjukkan satu dari empat atau 23 persen perempuan menikah pada usia anak.
Sekitar 340 ribu anak perempuan di bawah usia 18 tahun menikah setiap tahun. Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17 persen.
"Bila dilihat sebaran wilayah, terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional," katanya.
Artikel Pilihan