PIKIRAN RAKYAT – Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2022 menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kini, IPK Indonesia berada di angka 34 dari nilai keseluruhan 100 (34/100), sedangkan tahun sebelumnya berada di angka 38/100. Kenyataan ini menempatkan Indonesia berada di peringkat ke-110 dari total 180 negara yang disurvei oleh Transparency International. Di tingkat ASEAN, kita berada di peringkat ketujuh, bahkan dikalahkan oleh Timor Leste. Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Angka 34/100 bukanlah prestasi yang baik. Hal itu justru menunjukkan bahwa negeri ini tak kunjung serius memberantas korupsi. Apalagi, menurut Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Wawan Suyatmiko, “Penurunan skor sebanyak 4 poin dari tahun 2021 tersebut merupakan penurunan paling drastis sejak tahun 1995.” Itu artinya, IPK tahun lalu lebih dibandingkan dengan tahun-tahun terakhir masa pemerintahan Orde Baru yang dianggap rezim korup.
Sejarah mencatat bahwa praktik korupsi telah terjadi di negeri ini sejak berabad-abad lampau. Pada masa VOC, misalnya, tindak kejahatan itu terjadi tak lama setelah panen perdana kopi di Kabupaten Cianjur pada tahun 1711. Praktik itu tidak hanya dilakukan secara berjemaah, tetapi juga berjenjang dan menggunakan banyak modus. Praktik ini pun tak hanya dilakukan oleh pejabat kolonial, tetapi juga penguasa pribumi.
Memang, praktik itu terjadi karena VOC, secara semena-mena, menurunkan harga kopi, dari semula 50 gulden menjadi 2,5 gulden per pikul. Kebijakan itu membuat para bupati kehilangan potensi pendapatan yang cukup besar, bahkan bisa mencapai 100.000 ringgit per tahun. Belakangan, para bupati memutuskan untuk tidak menyetorkan semua kopi ke gudang VOC, tetapi menjualnya kepada orang-orang China yang mau membeli kopi dengan harga tinggi.
Baca Juga: Pembatasan Jabatan Kepala Desa Menyelamatkan Desa dari Korupsi
Namun, Kompeni tak kalah set. VOC mengangkat sejumlah pejabat pengawas berkebangsaan Eropa dengan pangkat Gecommitterde tot de Saecken der Inlanderen (masyhur disebut Komisaris atau Kumitir). Alih-alih hilang, praktik korupsi malah kian marak, dengan berbagai ragam tindakan penyelewengan yang menyertainya. Hal itu terjadi karena, sejak awal, Komisaris memiliki wewenang yang sangat besar.
Kondisi itulah yang kemudian membuat para bupati berusaha sekuat tenaga “berkarib” dengan para Komisaris. Menjelang pelantikan, mereka tak segan-segan memberikan uang sogokan dalam jumlah besar agar jabatan mereka bisa langgeng dan “tak diganggu”. Uang sogokan juga diberikan setiap kali Komisaris turnee ke daerah. Itulah uang bekti.
Pada kenyataannya, sebagian besar bupati terlebih dahulu meminjam uang kepada orang-orang China untuk membayar uang bekti tersebut. Sebagai imbalan, orang-orang China itu diberikan keleluasaan “mengelola” lahan. Kondisi itu terus berlangsung bahkan setelah VOC dinyatakan bangkrut. Tak heran jika kemudian salah satu tugas utama Daendels di Hindia Timur adalah memberantas praktik korupsi. Namun, ia gagal.
History repeats itself. Praktik korupsi tetap terjadi di negeri ini, dengan modus yang sebenarnya telah digunakan selama berabad-abad. Sebagian besar dari kita sebenarnya telah mengetahui soal ini. Akan tetapi,“pemakluman” membuat praktik lancung itu seakan-akan abadi. Soalnya, dalam skala kecil, bisa jadi, kita juga merupakan pelaku korupsi.
Artikel Pilihan