[Laporan Khusus] Sejak Dahulu, Pulau Jawa Menjadi Pasar Empuk

- 6 Februari 2019, 11:45 WIB
PENGANGKUTAN padi menggunakan kereta api dari Stasiun Wadas, Karawang, pada Juli 1949. Pihak Belanda melakukan Agresi Militer I
PENGANGKUTAN padi menggunakan kereta api dari Stasiun Wadas, Karawang, pada Juli 1949. Pihak Belanda melakukan Agresi Militer I

KERIUHAN persoalan pasokan pangan hampir selalu terjadi di Indonesia, terutama pemenuhan untuk masyarakat di Pulau Jawa. Persoalan pasokan beras, daging, jagung, dan sebagainya selalu mendominasi polemik kabar terkait dengan kebutuhan pangan utama di negara ini.

Jika dicermati dari sejumlah arsip surat kabar lama yang dikumpulkan ”PR” dari National Library of Australia Trove dan Koninklikje Bibliotheek Delpher Belanda, ternyata urusan pasokan pangan di Pulau Jawa  sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda.

Kondisinya menjadi ironi karena Pulau Jawa dikenal sebagai pulau tersubur sedunia, lahan pertaniannya masih luas dan dikenal dunia. Namun, ternyata masyarakatnya sering kekurangan pangan, sejak zaman dahulu hingga kini.  

Kejadian kelaparan besar di Pulau Jawa sudah muncul ke publik sejak awal abad ke-20 melalui pemberitaan De grondwet terbitan 8 April 1902. Mereka memberitakan di Pulau Jawa adalah sesuatu yang lumrah, terutama di Jawa Tengah orang-orangnya sudah terbiasa dalam kondisi kelaparan dan hidup sengsara selama bertahun-tahun. 

Dalam berita itu disebutkan, kelaparan yang mendera penduduk Jawa Tengah tersebut umumnya disebabkan ketergantungan terhadap konsumsi beras. Kondisi ini terjadi  jika sawahnya mengalami kegagalan panen, baik karena banjir maupun kemarau, letusan gunung berapi, atau lainnya.

Karena kondisi itu, diberitakan, masyarakat di Jawa Tengah menjadi kelaparan dan mengalami kesengsaraan. Apalagi mereka tidak memiliki uang untuk membeli beras dari orang lain. Untuk menyambung hidupnya, orang-orang kelaparan itu kemudian mengonsumsi dedaunan dan akar pohon (tampaknya yang dimaksud termasuk umbi-umbian), bahkan memakan sesuatu yang sebenarnya sumber penyakit.

”Anda mungkin tak akan percaya bahwa di negeri yang kaya dan subur ini, seperti Pulau Jawa seharusnya tidak terjadi kelaparan. Nyatanya, para penduduk asli sering kekurangan pasokan beras!” tulis editor surat kabar De Grondwet itu.

Mulai dikenalnya beras impor, khususnya asal Saigon, Vietnam, tergambar dari pemberitaan surat kabar Algemeen Handelsblad terbitan 27 Januari 1915 dengan mengabarkan pada 26 Januari 1915, Kapal Uap SS Tjimahi (ejaan kini SS Cimahi) tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia, dengan membawa 6.000 ton beras saigon (beras yang dikirimkan melalui Pelabuhan Kota Saigon). Kiriman beras tersebut didatangkan Pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan beras di Pulau Jawa pada Januari 1915. 

De Telegraaf pada 8 Maret 1915 memberitakan, impor beras yang terjadi tersebut sebenarnya suatu hal ironis. Soalnya, produksi padi di Pulau Jawa mencukupi, tetapi impor beras selalu dilakukan setiap tahunnya, baik dari Saigon (Vietnam) dan Rangoon (Burma/Myanmar).

Halaman:

Editor: Siska Nirmala


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Pikiran Rakyat Media Network

x