KARAKTER kayu albasia yang lunak dan mudah rusak jika terkena air, membuat banyak orang tak tertarik untuk menjadikannya bagian dari struktur maupun kerangka atap. Berbeda dengan sebuah hunian keluarga milik pasangan Siti Atikah (58) dan Bani Agus Supriyadi (59).
Kediaman mereka dinamakan Albizzia House. Letaknya di kawasan Babakan Sari, Kiaracondong, Kota Bandung.
Pada hunian yang berdiri di atas tanah seluas 150 meter persegi itu, kayu albasia justru menjadi elemen utama konstruksi. Bedanya, teknologi "purba" yang diterapkan pada kayu albasia yang digunakan, membuat hunian ini punya nilai plus tersendiri.
Arsitek pembangunan Albizzia House Yanuar Pratama Firdaus dari Aaksen Responsible Aarchitecture mengatakan, kayu albasia yang digunakan melewati proses "mumifikasi" secara tradisional. Proses ini mampu memadatkan kayu, sehingga menaikkan grade kayu.
Seperti diketahui, kayu albasia atau biasa disebut sebagai kayu sengon dikenal sebagai kayu yang ringan dan murah. Tak seperti kayu jati maupun kayu keras lain yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk tumbuh, kayu albasia sudah cukup umur untuk digunakan sekitar lima hingga enam tahun penanaman. Penggunaannya jarang dimaksimalkan karena grade kayu yang rendah, berkisar antara IV dan V.
Proses "mumifikasi" kayu dilakukan dengan mengubur potongan-potongan kayu di dalam sawah selepas musim panen. Cara ini seringkali dilakukan oleh petani di beberapa daerah, termasuk Ciamis, Jawa Barat, kampung halaman pemilik rumah.
Selanjutnya, sawah tetap digarap oleh petani seperti biasa, sehingga berisi lumpur dan ditanami padi. Potongan kayu baru dikeluarkan dari dalam sawah, ketika petani menyelesaikan musim panen. Begitu seterusnya.
"Unsur hara yang terkandung di dalam lumpur sawah, mampu membuat kayu yang direndam selama berbulan-bulan menjadi lebih padat. Sehingga grade kayu dapat bertahan sampai 30 atau 45 tahun," tutur Yanuar, ketika ditemui di Albizzia House, beberapa waktu lalu.

Artikel Pilihan